Opini

MENDEMOKRATISKAN PILKADA

MENDEMOKRATISKAN PILKADA Oleh Nasrullah (Staf teknis Penyelenggara Pemilu dan Hupmas KPU Kab. Konawe Utara)   Salah satu perwujudan pelaksanaan demokrasi adalah adanya Pemilihan Kepala Daerah. Pemilukada membuktikan bahwa kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat. Rakyat menentukan sendiri masa depannya dengan secara individu memilih pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini dipertegas dalam pasal 18 ayat 4 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan walikota dipilih secara demokratis”. Tetapi pertanyaannya  betulkah Pilkada sudah demokratis? Secara prosedural penyelenggaraan pilkada mungkin sudah memenuhi unsur demokrasi yakni memilih pemimpin politik melalui Pemilihan, namun demokrasi prosedural ala Josep Schumpter yang menekankan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai proses atau prosedur bagaimana seseorang mengikuti kontestasi pemilihan umum untuk menduduki jabatan politik, serta dengan jabatan tersebut dia memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang mengikat. Demokrasi prosedural yang berisi kompetisi antar para pemimpin tersebut harus berlangsung secara bebas. Artinya, bebas dalam berkompetisi (tidak boleh ada yang melarang individu untuk mengajukan dirinya) dan bebas memilih (bagi warga negara) mungkin belum terpenuhi, apalagi secara subsatntif Pilkada sesungguhnya masih jauh dari praktik demokrasi Mengapa demikian? Menilik praktik demokrasi selama ini khususnya dalam penyelenggraan Pilkada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, didesain sedimikian rupa sehingga seolah-olah mencerminkan demokrasi yang berjalan telah memenuhi prasyarat demokrasi secara substansial maupun prosedural. Tetapi jika melihat pasal-pasal yang mengatur terkait pencalonan untuk pemilihan gubernur, Bupati dan/atau Walikota diatur sedemikian ketat, bahkan cenderung mempersempit ruang partisipasi politik untuk maju sebagai calon. Syarat minimal partai politik untuk mencalonakan kandidat harus memiliki kursi minimal 20% dari total jumal kursi yang terdapat di suatu Kabupaten, Kota atau Provinsi, atau minimal memiliki 25% jumlah perolehan suara sah, dan bagi yang memiliki keinginan untuk menggunakan jalur perseorangan atau independen harus mengumpulkan 6,5% pemilih dalam DPT dan tersebar diminimal 50% lebih kecamatan yang ada dalam suatu kabupaten atau 50% kabupaten yang ada dalam suatu provinsi. Pengaturan ini  memberikan gambaran bahwa Pilkada pada dasarnya telah memberikan ruang yang sempit bagi rakyat untuk berpartisipasi secara politik yaitu dipilih tanpa ada halangan atau hambatan dari siapapun. Titik inila yang menjadi soal sehingga demokrasi berkembang cenderung dikuasai oleh oligarki. Pihak-pihak yang memiliki kekuakatan atau kemampuan sumber daya lah yang memiliki peluang lebih besar untuk berkompetisi secara bebas. Tengok saja Pilkada serentak yang diselenggarakan baru-baruini tanggal 9 Desember 2021, fenomena munculnya calon tunggal yang semakin bertambah dari setiap periodisasi penyelenggaraanPilkada serentak. Jika dilihat data yang dirilis KPU RI menunjukkan tren kenaikan calon tunggal. Berdasarkan data KPU pada Pilkada 2020, setidaknya ada 25 daerah yang diikuti satu pasangan calon. Pada Pilkada 2015, jumlah calon tunggal tercatat sebanyak 3 paslon. Kemudian bertambah pada 2017 menjadi 9 paslon. Jumlah paslon tunggal makin meningkat pada Pilkada 2018, yakni 16 paslon. Demikin juga dengan jumlah pasngan calon di setiap daerah memiliki tern penurunan yaitu  dua pasangan calon ada di 97 daerah, tiga pasangan calon ada di 85 daerah, empat pasangan calon di 51 daerah, dan lima pasangan calon di 12 daerah. Tren kenaikan calon tunggal pada pilkada merupakan anomali demokrasi. Demokrasi elektoral sejatinya adalah ruang bagi partai politik atau calon perseorangan untuk berkompetisi tanpa ada hambatan regulasi yang memaksa untuk mundur sebelum berkompetisi. Jika ditelusuri fenomena calon tunggal di belahan dunia lainnya terjadi pada daerah pemilihan yang jumlah pemilihnya sedikit, sehingga tingkat kompetisinya juga rendah, sedangkan untuk konteks Indonesia justru terbalik, calon tunggal muncul di daerah yang jumlah pemilihnya banyak, menganut sistem multi partai, an tingkat kompetisi tinggi. Idealnya setiap perhelatan Pilkada akan melahirkan kontestasi yang sangat kompetitif. Munculnya calon tunggal sebagai akibat prilaku partai politik yang semakin pragmatis dalam berkontestasi berkelindan dengan kepentingan calon yang ingin memenangkan kursi kekuasaan lebih mudah. Aksi borong partai yang dilakukan oleh calon dan kepentingan  partai politik yang semakin pragmatis, disebabkan oleh beberap hal yaitu pertama, terjadi praktik politik transaksioanl yang terjadi dalam proses kandidasi (candidat buying). Sehingga calon yang memiliki kemampuan finansial yang kuat akan dengan mudah memborong partai politik dan ini umumnya dilakukan oleh calon petahana karena memiliki sumber daya yang cukup memadai untuk memborong partai termasuk status sebagai petahana yang memiliki modal berkuasa lima tahun, sehingga popularitas dan tingkat elektabilitas tidak perlu diragukan. Kedua, partai politik yang sejatinya berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi gagal melahirkan kader-kader partai yang dapat diusung menjadi calaon dalam pemilihan kepala daerah, akibatnya cenderung melirik calon yang memiliki potensi yang cukup tinggi untuk menang. Ketiga, biaya politik yang semakin mahal mebuat banyak pihak ragu untuk ikut berkompetisi, keempat ambang batas pencalonan jalur partai politik dan calon perseorangan yang cukup tinggi, sehingga menyulitkan partai politik mengusung calon termasuk tidak diakomodasinya partai politik non seat untuk ikut mencalonkan kandidat. Kelima, parktik politik dinasti yang semakin marak. Praktik politik dinasti  terkait dengan dinasti partai di mana partai-partai tertentu dikuasai oleh keluarga. Dari situlah, elit partai menentukan calon-calon yang akan menduduki jabatan politik, dari bupati, walikota, gubernur sampai dengan anggota parlemen.  Pemilihan kepala daerah secara langsung yang sesungguhnya merupakan implementasi dari demokrasi memiliki cita-cita yang luhur yakni melahirkan pemimpin yang baik dan berdaulat karena dipilih oleh rakyat secara langsung, namun kondisi Pilkada yang semakin tidak demokratis, maka capain cita-cita tersebut ibarat sebuah mimpi yang sulit diraih. Regulasi pilkada yang diformulasikan sedemikian rupa hanya mengakomodasi kepentingan segilitr elit yang bermodal. Maka pilihan yang paling tepat adalah mendemokratiskan pilkada dengan memperkecil ambang batas pencalonan termasuk pelarangan praktik poltik dinasti sebagaimana pernah diatur dalam dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang melarang adanya hubungan kekerabatan dengan petahana. Meskipun, mahkamah Konstitusi pernah membatalkan ketentuan tersebut karena melanggar hak konstitusi, yaitu hak untuk dipilih. Pelarangan ini menimbulkan diskriminasi karena adanya perbedaan perlakuan akibat kelahiran dan kekerabatan. Namun melihat fenomena yang berkembang rasanya penting untuk mengatur kembali pelarangan politik dinasti demi pilkada yang lebih baik.      

Populer

Belum ada data.